Cahaya keemasan matahari dan hembusan angin sore
membuat daun-daun kecil berguguran di pinggir danau dan menyilaukan pandanganku
pada secarik kertas di depanku. Hari-hariku terasa menyenangkan dengan sebuah
kuas yang terukir namaku “Rani”. Yah, boleh dikatakan aku gemar melukis di
tempat-tempat yang menurutku indah dan tenang. Apalagi dengan seorang sahabat,
membuat hidupku lebih berarti.
Awalnya kita tak pernah mengenal, tak pernah tahu masing-masing pribadi. Namun,
aku tahu Allah sayang kita. Allah selalu tahu apa yang ada di balik tabir
kehidupan ini. Hingga kita dipertemukan di suatu tempat yang luar biasa,
sederhana, namun takkan pernah terlupakan. Ehm... sekolah negeri yang penuh
anak-anak luar biasa, penuh kesabaran, tetap tersenyum walau problematika hidup
berkeliaran di sekelilingnya.
Bel sekolah sudah berbunyi, ku langkahkan kaki menuju rumah tercinta. Belum sampai 10
langkah, aku menghentikan
langkah ku. Mereka benar-benar lupa… Rasanya aku ingin menangis saja. Kenapa
mereka semua bisa lupa hari ulang tahun ku? Aku masih menunggu hingga mereka sadar, bahwa temannya yang
satu ini sedang merayakan hari kelahirannya. Tapi, segitu buruk kah ingatan
mereka? Dengan kesal, aku berjalan secepat mungkin . Lebih baik pulang, tiduran di
kamar sambil bermain laptop. Lupakan hari ulang tahun ku!!
Ketika aku sedang berjalan, aku mendengar langkah kaki yang mengikutiku.
Siapa? Apakah penguntit? Tanpa sadar aku mulai
sedikit berlari, dan langkah itu pun juga terdengar sedang berlari mengejarku. Tunggu. Kenapa aku
mendengar langkah kaki banyak orang? Jangan-jangan aku akan dikeroyok. Oh
tuhan, lindungilah aku. Karena penasaran, ku beranikan diriku untuk menoleh ke belakang
secepat mungkin, melihat apa yang terjadi sebenarnya. Dan sedetik kemudian aku
merasa butiran-butiran putih mengenai seluruh tubuhku. Lalu disusul dengan
cairan kuning mengenai rambutku. “Happy Birthday Rani,” ujar mereka serempak lalu tertawa terbahak-bahak.
“Wahh.. ternyata kalian.” Kulihat Marie, Anne, dan Robert. “Kalian gila apa?” teriakku kesal walau hati kecil ku merasa senang.
Senang karena mereka ingat aku.
Dan
entah dari mana, Marie tiba-tiba membawa kue tart yang berisi angka 13
kehadapan ku. “Make a wish dulu donk, Ra.” Aku mulai memejamkan mata untuk berdoa. “semoga hari ini
dapat menjadikanku yang terbaik dari yang dulu.” Kemudian, aku pun segera
meniup lilin yang menyala terang. “ini hadiah buat kamu ra, aku sengaja
membelikan kamu ini supaya kamu tetap ingat sama kita. ”Wah.. thanks banget ya.
Aku janji akan menyimpan ini dengan baik.” Ujarku.
Keesokan harinya, aku lebih bersemangat sekolah. Aku sudah tidak sabar
menunggu sahabat-sahabatku. “Hai, Ra.. masuk kelas yuk..” kata Marie. “Eh
tunggu, tumben Robert datang telat. Biasanya dia datang pagi-pagi. Emang Robert
kemana??” tanyaku pada Marie. “Iya nih, dari tadi aku juga belum ketemu sama
Robert.”
Ketika kami sedang berbincang-bincang di kelas,
terdengar suara mengejutkan yang mengganggu perbincangan kami.
“Baaaaaaaaaaaa... Hayo, lagi ngapain kalian berdua? Ngomongin aku ya?”
Ternyata itu suara Robert yang baru datang.
“barusan aja kita berdua ngomongin kamu, panjang umur nih. By the way, kenapa
kamu datang agak telat? Biasanya kan kamu datang pagi-pagi. Jangan-jangan
kamu..” belum selesai aku bicara dia menanggapiku.
“Jangan-jangan apa. Aku itu tadi Cuma bangun kesiangan gara-gara mikirin
hadiah apa yang cocok buat kamu, Ra. Nah, sekarang aku udah tau hadiah yang
cocok buat kamu. Nih, buat kamu. Aku tau kamu suka boneka. Jadi, aku beli
boneka yang paling besar buat kamu.”
“Wow, thanks banget bert, kamu tau apa yang aku suka. Sampai-sampai,
kamu rela semalaman mikirin hadiah buat aku.” Ujarku pada Robert
“Nggak apa-apa kok, kan itu hadiah buat sahabat aku sendiri.” Robert
menjawab.
“Kriiiinggg....” tak terasa bel pun berbunyi tandanya masuk kelas.
Pak guru segera memasuki kelasku yang bersih
dan rapi.
“Anak-anak, hari ini kita kedatangan tamu
spesial dari Amerika. Dia adalah penyanyi asal Amerika yang ingin melihat-lihat
keadaan anak-anak di Indonesia. Dia bernama, Lionel Richie.
Di benakku, “Waaahhh..
Lionel Richie. Itu idolaku banget. Gak sabar pengen foto-foto sama dia. Minta
tanda tangan, foto bareng, ngobrol bareng, dan..
“Rani.. Rani... Ra, kamu kenapa? Jangan ngelamun aja kerjaannya. Saya
punya tugas buat kamu. Nanti waktu istirahat, kamu datang ke kantor saya.” Kata
pak guru tegas
“I.. Iya pak.” Kataku lirih.
Bel berbunyi, waktunya istirahat. Aku pun segera datang ke ruang kantor
pak guru seperti apa yang pak guru katakan tadi.
“Dag, Dig, Dug.” Suara detak jantungku yang berdebar sangat kencang. Aku
nggak tahu tugas apa yang diberikan pak guru nanti.
“Kreeekk..” ku buka pintu kantor. Kulihat disana pak guru sedang
berbincang-bincang dengan... Whaattt..????? ternyata pak guru sedang
berbincang-bincang dengan idolaku, Lionel Richie.
Aku mendekati pak guru dengan wajah
polos dan bicara, “maaf pak, bapak tadi menyuruh saya ke sini. Ada apa ya pak?”
“Ah.. Rani, akhirnya kamu datang juga. Saya punya tugas buat kamu,
kemarilah.”
“Tugas apa pak?” ujarku penasaran.
“Ini kan ada tamu dari Amerika, tolong kamu
memandu dia. Karena, kamu yang paling jago bahasa Inggris. Tolong kamu temani
dia jalan-jalan di sekitar sekolah.” Kata pak guru dengan tenang.
Ternyata
pak guru memintaku untuk menemani idolaku. Kukira apa, untung saja cuma itu.
Wah.. rasanya aku ingin teriak saja. Seneng banget.
Setelah
menemani Lionel berjalan-jalan, aku melanjutkan belajar di kelas.
“Eh,
ada Rani. Gimana rasanya jalan-jalan bareng idolamu? Kayaknya kamu seneng
banget deh.” Kata Anne sambil mendekatiku.
“Anne,
kamu tau saja aku lagi seneng.” Jawabku.
“Ya
iyalah, sahabat sendiri dong. Kamu sudah tahu belum? Berita tentang Robert.”
Kata Anne tiba-tiba.
Kontan aku kaget, memang ada apa dengan Robert?
Ada berita apa sih sebenarnya. Aku semakin penasaran dengan berita itu.
“Ada
apa sih? Ada berita apa? Robert kenapa? Jawab dong Ann.” Kataku gelisah.
“Eiitthh..
pelan-pelan kalau ngomong. Sebentar akan aku jawab pelan-pelan. Kamu
kelihatannya gelisah banget.” Anne menjawab.
“Iya,
kenapa sih sama Robert? Dia kenapa? Dia baik-baik saja kan?” sautku.
“Iya-iya Robert nggak apa-apa kok, dia
baik-baik saja. Tapi, harusnya kamu deh yang sedih. Sebenarnya Robert itu mau
pindah sekolah. Dia pindah karena pekerjaan orang tuanya. Jadi dia sudah harus
pindah. Kamu belum tahu berita itu?” kata Anne kemudian
“Hah??
Yang bener? Aku belum diberitahu sama Robert. Kenapa Robert sejahat itu? Kenapa
dia nggak bilang ke aku kalau dia mau pindah? Memang kenapa Robert tidak
memberitahuku?? Aku semakin sedih dia nggak mau memberitahuku.” Ucapku sambil
menutup telingaku seakan-akan aku berharap berita itu tidak benar-benar
terjadi.
Sepulang
sekolah, aku menemui Robert yang sedang berjalan menuju rumahnya. “Robert,
kenapa kamu nggak memberitahuku? Kamu jahat.” Kataku tiba-tiba
“Jadi,
kamu sudah tau kalau aku mau pindah. Maaf sebelumnya aku nggak memberitahumu
karena aku takut kamu menjadi sedih.” Kata Robert sambil menundukkan kepalanya.
“Robert,
aku nggak apa-apa kok. Semoga kamu disana bisa hidup dengan bahagia. Aku turut
bahagia kalau kamu juga bahagia.” Sautku.
Tak terasa, pipiku terasa basah. Aku meneteskan
air mata tak henti-henti.
Keesokannya, aku sengaja bangun pagi-pagi untuk
pergi sekolah. Sesampainya di sekolah, aku lihat ternyata Robert belum datang.
Sebenarnya, semalaman ini aku sudah menyiapkan bingkisan untuk Robert. Aku
menaruh bingkisan itu di kolom bangkunya. Di situ tertulis aku sangat sayang
sama sahabat-sahabatku. Aku tidak akan pernah melupakan Robert. Aku janji, aku
akan tegar dan ikhlas seperti yang di minta oleh Robert.
Robert pun melihat bingkisan itu, dia senang
melihatnya. Keesokannya, aku mengantarkannya ke sekolah barunya.
~~~THE END~~~